18 Maret, 2010

Mengenal Misteri Sindrom Tourette



 Penyakit satu ini memang kurang banyak dikenal di masyarakat kita. Tapi waspada saja, sebab gangguan mental ini bisa saja menyerang siapa saja, termasuk orang terdekat kita, bahkan kita sendiri.
Nama penyakitnya sendiri memiliki beberapa persamaan, mulai dari Tourette’s syndrome, Tourette’s disorder, Gilles de la Tourette syndrome.

Sebenarnya apa itu vertigo?

Istilah vertigo, atau yang disebut juga dizziness, giddiness, dan lightheadedness adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul, terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.

Narsis Termasuk Gangguan Kepribadian

narcissPernahkah Anda narsis?  Di hadapan teman-teman Anda mungkin, atau sang pacar barangkali? Sekedar sharing ilmu saja.
Narsis  ternyata juga masuk dalam gangguan kepribadian. Tepatnya gangguan kepribadian narsistik . Anda boleh tidak percaya dan barang kali, memang perlu sebuah bukti ilmiahnya.
Bagi orang psikologi, pasti tidak asing lagi dengan yang namanya Buku pegangan PPDGJ dan DSM IV-TR. Dalam buku tersebut dijelaskan, adanya aksis II yaitu gangguan kepribadian. Diantara sekian macam gangguan kepribadian, ternyata terdapat satu gangguan yang mungkin seseorang tidak menyadari akan adanya gangguan tersebut dalam dirinya. Yaitu narcissistic personality disorder (gangguan kepribadian narsistik).
Dalam buku Essentials Abnormal Psychology karya V. Mark Durand dan David H. Barlow, dijelaskan bahwa gangguan kepribadian narsistik adalah gangguan yang melibatkan pola pervasive dari grandiosities dalam fantasi atau perilaku; membutuhkan pujian dan kurang memiliki empati.
Orang-orang yang menilai “tinggi” dirinya sendiri – bahkan melebih-lebihkan kemampuan riil mereka dan menganggap dirinya berbeda dengan orang lain, serta pantas menerima perlakuan khusus, merupakan perilaku yang sangat ekstrem.
Dalam mitologi Yunani, Narcissus adalah seorang pemuda yang menolak cinta Echo dan sangat terpesona dengan keelokannya sendiri. Ia menghabiskan waktunya untuk mengagumi bayangan dirinya yang tercermin di danau. Para psikoanalis, termasuk Freud, menggunakan istilah narcissistic untuk mendeskripsikan orang-orang yang menunjukkan bahwa dirinya orang penting secara berlebih-lebihan dan yang terokupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian (Cooper dan Ronningstam, 1992).
Deskripsi Klinis
Penderita gangguan kepribadian narsistik memiliki perasaan yang tidak masuk akal bahwa dirinya orang penting dan sangat terokupasi dengan dirinya sendiri sehingga mereka tidak memiliki sensivitas dan tidak memiliki perasaan iba terhadap orang lain (Gunderson, Ronningstam, dan Smith, 1995). Mereka membutuhkan dan mengharapkan perhatian khusus. Mereka juga cenderung memanfaatkan dan mengeksploitasi orang lain bagi kepentingannya sendiri serta hanya sedikit menunjukkan sedikit empati. Ketika dihadapkan pada orang lain yang sukses, mereka bisa merasa sangat iri hati dan arogan. Dan karena mereka sering tidak mampu mewujudakan harapan-harapannya sendiri, mereka sering merasa depresi.
Menurut DSM IV-TR, kriteria gangguan kepribadian narsistik yaitu, pandangan yang dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri, arogansi, terfokus pada keberhasilan, kecerdasan, kecantikan diri, kebutuhan ekstrem untuk dipuja, perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan segala sesuatu, kecenderungan memanfaatkan orang lain, dan iri kepada orang lain.
Penyebab dan Penanganan
Beberapa penulis, termasuk Kohut (1971, 1977), percaya bahwa gangguan kepribadian narsistik muncul dari kegagalan meniru empati dari orang tua pada masa perkembangan awal anak. Akibatnya, anak tetap terfiksasi di tahap perkembangan grandiose. Selain itu, anak (dan kelak setelah dewasa) menjadi terlibat dalam pencarian, yang tak berkunjung dan tanpa hasil, figure ideal yang dianggapnya dapat memenuhi kebutuhan empatiknya, yang tak pernah terpenuhi.
Treatment research sangat terbatas, baik dalam hal jumlah studi maupun laporan tentang kesuksesannya (Groopman dan Cooper, 2001). Bila terapi dicobakan pada individu-individu ini, terapi itu sering kali difokuskan pada grandiositas, hipersensivitas terhadap evaluasi orang lain, dan kekurangan empati terhadap orang lain (Beck dan Freeman, 1990). Terapi kognitif diarahkan pada usaha mengganti fantasi mereka dengan focus pada pengalaman sehari-hari yang menyenangkan, yang memang benar-benar dapat dicapai. Strategi coping seperti latihan relaksasi digunakan untuk membantu mereka mengahadapi dan menerima kritik. Membantu mereka untuk memfokuskan perasaannya terhadap orang lain juga menjadi tujuannya. Karena penderita gangguan ini rentan mengalami episode-episode depresif, terutama pada usia pertengahan, penanganan sering dimulai untuk mengatasi depresinya. Tetapi, mustahil untuk menarik kesimpulan tentang dampak penanganan semacam itu pada gangguan kepribadian narsistik yang sesungguhnya.
Sumber Tulisan:
Anonim. 2009. Handout Psikologi : Gangguan Kepribadian. Yogyakarta: Tidak diterbitkan
Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Essentials Abnormal Psychology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kartono, Dr. Kartini dan Dali Gulo.2003. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya
Muslim, Dr. Rusdi Editor. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Tidak Ada Penerbit

Mengubah Styrofoam dengan Biodegradasi Plastik

figure2Bakteri ada di mana-mana, tanpa kita sadari bakteri memecah selulosa pada setiap kehidupannya, baik itu dalam hal fermentasi makanan ataupun memperbaiki nitrogen dalam tanah, di antara sejumlah kegiatan lainnya. Mengingat mereka di mana-mana dan  memiliki keanekaragaman fungsi, bioteknologi telah mencari penggunaan baru untuk berbagai jenis organisme mikroskopis, seperti mengkonsumsi tumpahan minyak atau bahkan menangkap gambar. Sekarang ahli biologi di University College Dublin di Irlandia telah menemukan bahwa keturunan Pseudomonas putida dapat diperoleh dengan secukupnya dalam diet minyak styrene murni  (minyak bekas Styrofoam yang  dipanaskan) dan, dalam proses, pengubahan dari masalah lingkungan kepada yang lebih berguna, yaitu biodegradable plastik.
Kevin O’Connor dan kolega Eropanya mengubah polystyrene menjadi minyak melalui pirolisis (sebuah proses yang memanaskan plastik berbasis petroleum ke 520 derajat Celcius tanpa adanya oksigen). Hasilnya dalam chemical coakteil terdiri lebih dari 80 persen minyak styrene ditambah volume rendah toxicants lain. Para peneliti kemudian memberi makan minuman ini untuk Pseudomonas putida CA-3, keturunan special dari mikroba tanah pada umumnya, sepenuhnya berharap bahwa minyak harus dimurnikan lebih lanjut untuk memungkinkan pertumbuhan bakteri.
PolystyreneTetapi bakteri ini dikembang biakkan dengan pesat pada diet baru, mengubah 64 gram minyak styrene undistilled menjadi hampir 3 gram bakteri tambahan. Dalam proses, bakteri menyimpan 1,6 gram energi minyak styrene sebagai plastik biodegradable yang disebut polyhydroxyalkanoates, atau PHA. Plastik ini dapat bertahan hingga panas tetapi juga rusak lebih alami dalam lingkungan daripada produk-produk berbasis petroleum. Dengan demikian, meskipun proses biologi bertenaga menghasilkan beberapa produk sampingan yang beracun seperti toluena dan membutuhkan energi yang signifikan untuk mendorong pirolisis, bahan bakar itu berharap bahwa styrofoam (dan molekul plystyrene yang membuat itu) dapat menjadi lebih ramah lingkungan.
Hal ini akan menjadi kabar baik bagi AS, yang menghasilkan tiga juta ton polystyrene pada tahun 2000, menurut EPA, dan membuang 2,3 juta ton bahan, mengirim limbah untuk beristirahat selama tahun yang panjang di landfill. The PHA (polihidroksialkanoat) dari proses ini bisa diubah untuk digunakan lebih produktif itu sudah digunakan untuk membuat segalanya dari cabang-cabangnya untuk vitamin. Dan proses barangkali tidak hanya berguna untuk membersihkan beker yang dapat dijual. Karena pada umumnya penerapan pirolisis untuk mengkonversikan plastic menjadi minyak dan banyaknya mikroorganisme mampu mengakumulasi PHA dari banyaknya molekul-molekul permanen, prinsip dari proses yang diuraikan di sini dapat diterapkan untuk daur ulang limbah plastik petrokimia apapun,” klaim para ilmuwan di koran menyajikan temuan mereka dalam 1 April masalah Lingkungan Sains & Teknologi. Rupanya, mendaur ulang bakteri juga.

Adakah Obat untuk HIV/AIDS Saat Ini?



Gambar 1B Daur hidup HIV

Gambar 1A Struktur Virus HIV
AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV, virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam jangka waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh.
Karena ganasnya penyakit ini, maka berbagai usaha dilakukan untuk mengembangkan obat-obatan yang dapat mengatasinya. Pengobatan yang berkembang saat ini, targetnya adalah enzim-enzim yang dihasilkan oleh HIV dan diperlukan oleh virus tersebut untuk berkembang. Enzim-enzim ini dihambat dengan menggunakan inhibitor yang nantinya akan menghambat kerja enzim-enzim tersebut dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan virus HIV.
HIV merupakan suatu virus yang material genetiknya adalah RNA (asam ribonukleat) yang dibungkus oleh suatu matriks yang sebagian besar terdiri atas protein. Untuk tumbuh, materi genetik ini perlu diubah menjadi DNA (asam deoksiribonukleat), diintegrasikan ke dalam DNA inang, dan selanjutnya mengalami proses yang akhirnya akan menghasilkan protein. Protein-protein yang dihasilkan kemudian akan membentuk virus-virus baru.
Obat-obatan yang telah ditemukan pada saat ini menghambat pengubahan RNA menjadi DNA dan menghambat pembentukan protein-protein aktif. Enzim yang membantu pengubahan RNA menjadi DNA disebut reverse transcriptase, sedangkan yang membantu pembentukan protein-protein aktif disebut protease.
Untuk dapat membentuk protein yang aktif, informasi genetik yang tersimpan pada RNA virus harus diubah terlebih dahulu menjadi DNA. Reverse transcriptase membantu proses pengubahan RNA menjadi DNA. Jika proses pembentukan DNA dihambat, maka proses pembentukan protein juga menjadi terhambat. Oleh karena itu, pembentukan virus-virus yang baru menjadi berjalan dengan lambat. Jadi, penggunaan obat-obatan penghambat enzim reverse transcriptase tidak secara tuntas menghancurkan virus yang terdapat di dalam tubuh. Penggunaan obat-obatan jenis ini hanya menghambat proses pembentukan virus baru, dan proses penghambatan ini pun tidak dapat menghentikan proses pembentukan virus baru secara total.
Obat-obatan lain yang sekarang ini juga banyak berkembang adalah penggunaan penghambat enzim protease. Dari DNA yang berasal dari RNA virus, akan dibentuk protein-protein yang nantinya akan berperan dalam proses pembentukan partikel virus yang baru. Pada mulanya, protein-protein yang dibentuk berada dalam bentuk yang tidak aktif. Untuk mengaktifkannya, maka protein-protein yang dihasilkan harus dipotong pada tempat-tempat tertentu. Di sinilah peranan protease. Protease akan memotong protein pada tempat tertentu dari suatu protein yang terbentuk dari DNA, dan akhirnya akan menghasilkan protein yang nantinya akan dapat membentuk protein penyusun matriks virus (protein struktural) ataupun protein fungsional yang berperan sebagai enzim.
Gambar 2 menunjukkan skema produk translasional dari gen gag-pol dan daerah di mana produk dari gen tersebut dipecah oleh protease. p17 berfungsi sebagai protein kapsid, p24 protein matriks, dan p7 nukleokapsid. p2, p1 dan p6 merupakan protein kecil yang belum diketahui fungsinya. Tanda panah menunjukkan proses pemotongan yang dikatalisis oleh protease HIV (Flexner, 1998).
Menurut Flexner (1998), pada saat ini telah dikenal empat inhibitor protease yang digunakan pada terapi pasien yang terinfeksi oleh virus HIV, yaitu indinavir, nelfinavir, ritonavir dan saquinavir. Satu inhibitor lainnya masih dalam proses penelitian, yaitu amprenavir. Inhibitor protease yang telah umum digunakan, memiliki efek samping yang perlu dipertimbangkan. Semua inhibitor protease yang telah disetujui memiliki efek samping gastrointestinal. Hiperlipidemia, intoleransi glukosa dan distribusi lemak abnormal dapat juga terjadi.
Gambar 3 menujukkan lima struktur inhibitor protease HIV dengan aktivitas antiretroviral pada uji klinis. NHtBu = amido tersier butil dan Ph = fenil (Flexner, 1998).
Uji klinis menunjukkan bahwa terapi tunggal dengan menggunakan inhibitor protease saja dapat menurunkan jumlah RNA HIV secara signifikan dan meningkatkan jumlah sel CD4 (indikator bekerjanya sistem imun) selama minggu pertama perlakuan. Namun demikian, kemampuan senyawa-senyawa ini untuk menekan replikasi virus sering kali terbatas, sehingga menyebabkan terjadinya suatu seleksi yang menghasilkan HIV yang tahan terhadap obat. Karena itu, pengobatan dilakukan dengan menggunakan suatu terapi kombinasi bersama-sama dengan inhibitor reverse transcriptase. Inhibitor protease yang dikombinasikan dengan inhibitor reverse transkriptase menunjukkan respon antiviral yang lebih signifikan yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama (Patrick & Potts, 1998).
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa sampai saat ini belum ada obat yang benar-benar dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Obat-obatan yang telah ditemukan hanya menghambat proses pertumbuhan virus, sehingga jumlah virus dapat ditekan.
Oleh karena itu, tantangan bagi para pe
neliti di seluruh dunia (termasuk Indonesia) adalah untuk mencari obat yang dapat menghancurkan virus yang terdapat dalam tubuh, bukan hanya menghambat pertumbuhan virus. Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, tentunya memiliki potensi yang sangat besar untuk ditemukannya obat yang berasal dari alam. Penelusuran senyawa yang berkhasiat tentunya memerlukan penelitian yang tidak sederhana. Dapatkah obat tersebut ditemukan di Indonesia? Wallahu a’lam.
Pustaka:
  1. Flexner, C. 1998. HIV-Protease Inhibitor. N. Engl. J.Med. 338:1281-1293
  2. Patrick, A.K. & Potts, K.E. 1998. Protease Inhibitors as Antiviral Agents. Clin. Microbiol. Rev. 11: 614-627.