23 Agustus, 2010

Penyebab Hujan pada Musim Kemarau

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG memberi penjelasan mengenai kondisi anomali iklim yang terjadi selama musim kemarau 2010. Meski berada pada musim kemarau, yakni Maret-Agustus 2010, hujan dengan intensitas rendah hingga tinggi masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Menurut Kepala BMKG Sri Woro, anomali iklim tersebut tidak terlepas dari sejumlah kondisi faktor pengendali curah hujan di wilayah Indonesia. "Yaitu dengan menghangatnya suhu permukaan laut perairan Indonesia," kata Sri Woro dalam konferensi pers di Gedung BMKG, Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (18/6/2010).

Peningkatan suhu permukaan laut inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya potensi hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.
Berdasarkan pengawasan BMKG terhadap suhu perairan Indonesia selama Juni 2010, di sini terjadi kecenderungan suhu yang hangat. Kondisi inilah yang menambah penguapan dan membentuk awan berpotensi hujan.
Selain faktor suhu permukaan laut, terjadinya hujan pada musim kemarau ini juga dipengaruhi pergerakan El Nino yang cenderung menambah massa uap air dan faktor dipole mode negatif yang menambah massa uap air ke Indonesia bagian barat. "Juga ada pengaruh dari global warming. Pemanasan suhu Bumi ini tidak hilang, tetapi berubah bentuk menjadi energi kinetis dan hujan," tuturnya.
Dengan kondisi demikian, Sri mengatakan, potensi hujan di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi akan terjadi dengan intensitas sedang sampai lebat dan akan tetap terjadi hingga pertengahan Juli 2010.
"Musim kemarau 2010 ini cenderung lebih basah dibanding normalnya. Atau dengan kata lain, kecenderungan musim kemarau 2010 lebih pendek dibanding musim normalnya," papar Sri.
Walau demikian, Sri mengatakan, intensitas hujan tersebut masih tergolong normal. "Khusus untuk Jakarta, pada Juni, Juli, dan Agustus 2010 masih akan terjadi hujan. Tapi intensitasnya rendah dan tidak ekstrem," tandasnya. (Kompas)

Ngunyah Permen Karet Bikin Sering Kentut?

Mengunyah permen karet memang bisa mengusir rasa bosan dan mengantuk. Namun, tahukah Anda bahwa terlalu sering mengunyah permen karet bisa menyebabkan kita sering kentut?
Ketika mengunyah permen karet, tanpa sadar kita akan lebih banyak menelan dan sebagian besar yang ditelan adalah udara. Selain itu, pemanis buatan, seperti sorbitol yang biasa dipakai pada permen karet, juga bisa menimbulkan gas di perut.
Menurut Fred Cicetti, praktisi kesehatan, kebanyakan orang memproduksi sekitar setengah galon gas setiap hari. Oksigen, karbondioksida, dan nitrogen yang berasal dari udara yang tertelan merupakan bagian terbesar dari kentut. Hasil fermentasi makanan di usus juga akan memproduksi hidrogen dan metana.
Bau tidak sedap dari kentut merupakan akibat dari sisa gas, seperti hidrogen sulfida dan senyawa-senyawa lain yang diproduksi dari hasil pembusukan makanan di usus.
Manusia mengeluarkan gas lewat dua cara, yakni saat bersendawa dan kentut. Ketika kita menelan udara dan tidak keluar saat bersendawa, udara itu akan turun melewati usus dan keluar lewat rektum. Separuh dari gas yang keluar lewat rektum berasal dari udara yang tertelan.
Normalnya, seseorang mengeluarkan gas sekitar 10 kali setiap hari. Buang gas hingga 12 kali sehari masih dikategorikan normal.
KOMPAS

Waspadai Kontaminasi Bakteri pada Telur


 Telur merupakan salah satu sumber pangan dengan kandungan protein dan nutrisi esensial yang dibutuhkan manusia. Namun, di balik penampilan kulit yang tampak mulus, telur ternyata mudah rusak akibat bakteri, antara lain oleh bakteri salmonela. 

Baru-baru ini ribuan orang di Amerika Serikat dilaporkan terjangkit penyakit akibat wabah salmonela setelah mengonsumsi telur. Salmonela sendiri bisa menyebabkan diare, kram perut, dan demam dalam jangka waktu 8-72 jam pasca-mengonsumsi telur yang tercemar bakteri. 

Berdamai dengan Zat Kimia Beracun



Hidup steril tanpa pestisida, rasanya mustahil. Padahal, zat kimia yang masuk ke dalam tubuh lewat tanaman dan hewan ini tak bisa keluar begitu saja. Simak tips di bawah ini agar hidup tetap aman bersama pestisida.
Pada dasarnya, sayur dan buah memiliki komponen tersendiri yang berguna melindungi diri terhadap hama. Namun, mengandalkan zat dari tanaman itu sendiri tidaklah cukup. Oleh sebab itu, muncul kebutuhan akan pestisida, untuk membunuh hama yang merusak atau mengganggu tanaman dan hewan. Pestisida terdiri dari kata pes yang berarti hama penyakit, dan sida yang artinya membunuh.
Jadi, pestisida adalah bahan-bahan kimia, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk membunuh hama dan penyakit. Jenis pestisida bermacam-macam, tergantung dari apa yang akan dibasmi. Misalnya, herbisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membasmi rerumputan, insektisida untuk membasmi serangga, fungisida untuk membunuh jamur, bakterisida untuk membasmi bakteri, dan sebagainya.
 Menurut Prof. Dr. Ir. Made Astawan, Ms., Kepala Bagian Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian (IPB), Bogor, pestisida dibutuhkan petani agar saat dipanen, tanaman sayur dan buah tetap berkualitas baik. “Jika tidak diberi pestisida, tanaman bisa diserang hama dan penyakit. Akibatnya, petani gagal panen,” ujar Made.
Sayangnya, meski menguntungkan, pestisida ibarat pisau bermata dua. Bila jenis, cara, dan dosis yang digunakan secara tepat dan benar, pestisida akan menjadi sahabat bagi petani. Namun, bila ketiganya dilakukan secara salah dan tidak tepat aturan, hama yang akan dibasmi justru bisa kebal terhadapnya. Akibatnya, gen-gen dalam tubuh hama itu akan bermutasi dan menjadi tetap kebal pestisida, meski dosisnya sudah ditambah.
“Saat si hama beranak dan bercucu, mereka lebih kuat dan kebal. Akibatnya, petani jadi tambah royal memakai pestisida.” Dampaknya, lanjut Made, orang yang mengonsumsi sayuranlah yang dirugikan karena banyaknya residu (sisa) pestisida yang menempel di sayur dan buah yang dibeli. Sebab, Made mengingatkan, residu ini akan terbawa ke dalam tubuh bila sayuran dan buah itu dikonsumsi.
PERLU WAKTU LAMA
Pestisida, terang Made, bisa dipindahkan dari tubuh mahluk hidup ke mahluk hidup lainnya. Made mencontohkan, jika tanaman yang mengandung pestisida dimakan hewan, pestisida pindah ke dalam hewan itu. Ketika hewan itu dikonsumsi manusia, pestisida pindah ke tubuh manusia. Sayangnya, pestisida bukanlah sejenis senyawa kimia yang jika masuk ke dalam tubuh, bisa dikeluarkan begitu saja.
Sebaliknya, akan tertimbun di dalam tubuh. Namun, efeknya tak akan terasa seketika, melainkan butuh waktu lama, bahkan bisa bertahun-tahun. “Makin banyak kita makan makanan berpestisida, makin banyak pestisida yang terpapar dalam tubuh,” ujarnya.
Jika sudah sampai batas ambang tertentu, bisa menimbulkan dampak buruk pada tubuh. Antara lain, lanjutnya, muncul gangguan pada otak, penyakit tumor, kanker, bahkan, pada ibu hamil bisa mengakibatkan bayi lahir cacat. Bila pestisida yang terpapar kebanyakan adalah logam berat, bisa mengganggu sistem saraf. Banyaknya bayi yang lahir dengan berbagai kelainan, seperti autis, juga termasuk akibat dari timbunan komponen-komponen pestisida di dalam tubuh ibunya semasa hamil.
Perlu diingat, reaksi yang ditimbulkan setiap orang tidak sama, tergantung dari intensitas dan kadar pestisida yang terkonsumsi, serta bagaimana cara mengolah makanannya. Sebab, sistem kekebalan tubuh seseorang berbeda-beda. Kendati demikian, tak perlu terlalu khawatir atau hidup harus terlalu steril. Menurut Made, hidup terlalu steril pun justru membuat kita rentan terserang penyakit.
“Bisa-bisa, orang lain tetap sehat, sementara kita malah sakit, hanya gara-gara makan makanan di pinggir jalan, misalnya. Makan makanan instan pun, sesekali saja sih, boleh,” katanya lagi. Sebetulnya, ujar Made, pestisida bisa “disingkirkan” jika sistem rantai makanan berjalan dengan baik.
LENGKET DI PORI-PORI
Berdasarkan racunnya, menurut Made, pestisida dibagi dua, yaitu racun sistemik dan nonsistemik. Pada jenis sistemik, pestisida yang disemprotkan ke tanaman akan meresap ke seluruh bagian, termasuk daun, akar, dan buah. Sedangkan pada nonsistemik, racun hanya ada di permukaan saja, tidak menyebar. Menghilangkan racun pestisida nonsistemik cukup mudah, yaitu dengan mencucinya hingga bersih di air mengalir.
Made mencontohkan, bila tanaman sayur disirami dengan air got yang mengandung logam berat, air siramannya itu akan diserap akar dan tersimpan dalam tanaman. Pestisida yang menempel pada buah dan sayuran yang permukaannya licin, misalnya mentimun, lebih mudah dibersihkan dengan cukup dicuci. Namun, pada sayuran berpori-pori, lebih sulit karena racun lengket di pori-porinya.
Namun, buah dan sayur ini bisa dicuci dengan deterjen khusus bahan pangan. Sabun cuci ini efektif menghilangkan lemak yang menempel pada buah, sayuran, atau ikan. Asal tahu saja, pestisida lebih kuat menempel pada lemak. Menurut Made, buah yang perlu dikupas lebih dulu sebelum dikonsumsi seperti salak dan jeruk, pestisida yang dikandungnya tak seriskan buah yang langsung bisa dikonsumsi seperti apel atau pir.
Untuk menghilangkan pestisida jenis sistemik ini bisa dilakukan melalui pemanasan, misalnya direbus, dikukus, atau digoreng. Bahkan, mencelupkan buah dan sayuran ke dalam air panas pun bisa menghilangkan komponen pestisida tertentu hingga 90 persen. Dalam hal ini, proses memasak memang menjadi penting.
Sementara pada sayuran organik, yang ciri daunnya tak mulus, Made memaparkan, pembudidayaannya tak menggunakan unsur-unsur kimia, melainkan menggunakan obat hama berbahan alami, sehingga hama mudah menghampiri. “Jika bukan organik, harus diwaspadai jika daunnya terlalu mulus. Jangan-jangan, kadar pestisidanya tinggi,” tutur Made. Bahan-bahan alami yang bisa dijadikan pestisida, urai Made, misalnya cabai, jahe, lengkuas, atau tanaman yang rasa daunnya pahit. Bahan-bahan ini dibuat ekstrak, dicampur air, lalu disemprotkan ke tanaman.

Bahan Kimia dalam kehidupan keluarga dan efeknya.


Zat-zat yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari kebanyakan tidak dalam keadaan murni, melainkan bercampur dengan dua atau lebih zat lainnya. Campuran suatu zat akan tetap mempertahankan sifat-sifat unsurnya. Oleh karena itu, suatu bahan kimia akan dipengaruhi oleh sifat, kegunaan, atau efek dari zat-zat yang menyusunnya. Kekuatan pengaruh sifat masing-masing zat bergantung pada kandungan zat dalam bahan yang bersangkutan. Banyak ragam bahan kimia yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa bahan kimia yang mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari antara lain: