Liang Bua (berarti "gua/lubang sejuk" dalam bahasa Manggarai) adalah salah satu dari banyak gua karst di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur di Indonesia. Gua ini terletak di Dusun Rampasasa, Desa Liangbua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. dan merupakan tempat penemuan makhluk mirip manusia (hominin) baru yang dinamakan Homo floresiensis pada tahun 2001.Secara geologi, gua ini merupakan bentukan endokars yang berkembang pada batu gamping yang berselingan dengan batu gamping pasiran. Batuan gamping ini diperkirakan berasal dari periode Miosen tengah atau sekitar 15 juta tahun yang lampau. Kawasan kars di NTT ini, sebagaimana kawasan kars di tempat lain di Indonesia, juga memiliki ciri-ciri khusus yang berlainan dengan kawasan kars lainnya.
Liang Bua dan gua-gua lainnya sekawasan telah digali secara arkeologi sejak tahun 1930-an. Temuan-temuan dari masa ini dibawa ke Leiden, Belanda. Penggalian dan penelitian dilanjutkan oleh tim pimpinan H.R. van Heekeren pada tahun 1950-an, lalu diteruskan oleh Th. Verhoeven, seorang pendeta Katolik. Timnya menemukan antara lain rangka sangat pendek (tetapi tidak katai) di Liang Toge, di samping tulang-tulang di Liang Bua, Liang Momer, dan lain-lain. Kerangka-kerangka ini adalah H. sapiens. Peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian di sana adalah A.A. Sukadana, ahli antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, pada tahun 1960-an menemukan pula sisa-sisa manusia termasuk rahang bawah, di Liang Bua. Dari tahun 1978-1989, Prof. R. Panji Soejono menemukan antara lain tulang paha di Liang Bua. Sisa-sisa kerangka dari periode awal hingga terakhir tersimpan di Leiden, London, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan Flores. Penelitian selanjutnya dihentikan karena tidak ada pendanaan. Penelitian baru berlanjut setelah ada kerja sama antara Puslit Arkenas (dipimpin R.P. Soejono) dan Universitas New England, Australia (dipimpin Mike Morwood).
Pada bulan September 2003 ditemukan kerangka unik yang kemudian diidentifikasi sebagai H. floresiensis. Bersamaan dengan manusia purba itu ditemukan pula perkakas batu yang dikenal telah digunakan oleh Homo erectus (seperti yang ditemukan di Sangiran) serta sisa-sisa tulang Stegodon (gajah purba) kerdil, biawak raksasa, serta tikus besar.
Penemuan fosil manusia purba bertubuh kerdil (Homo floreiensis) di Gua Liang Bua, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), enam tahun lalu mengejutkan dunia. Inilah penemuan manusia bersejarah paling mengejutkan di dunia sepanjang 50 tahun terakhir ini. Betapa tidak, penemuan ilmiah itu mampu mengubah pandangan ilmuwan tentang geografis evolusi manusia, biologi, dan kebudayaan purba.
Sejak penemuan itu, Gua Liang Bua langsung termasyhur di seluruh penjuru dunia. Kawasan karst itu seolah menjadi ladang riset yang tiada henti. Temuan demi temuan pun dikumpulkan. Rekonstruksi masa lalu kehidupan purba di sana makin terkuak.
Penemu fosil bersejarah tersebut adalah gabungan tim paleoantropolog dan arkeolog dari Indonesia dan Australia yang dipimpin Dr Morwood. Mereka menemukan sembilan fosil manusia bertubuh kerdil yang diberi nama latin Homo floresiensis atau manusia flores.
Semasa hidupnya, salah satu manusia flores berkelamin wanita itu ditaksir memiliki tinggi sekitar satu meter dan bobot hanya 25 kg. Menurut pengukuran dengan menggunakan metode ilmiah (karbon), ia meninggal dunia 18.000 tahun silam dalam usia yang masih relatif muda, sekitar 30 tahun.
Ukuran otaknya juga mini, hanya 380 cc. Sebagai perbandingan, volume otak manusia modern mencapai tiga kali lipat lebih besar dari pada otak manusia kerdil tersebut. Sementara itu, volume otak simpanse sedikit lebih besar ketimbang manusia kerdil, yakni mencapai sekitar 400 cc.
Tim Morwood juga menemukan fosil manusia kerdil yang meninggal pada usia sekitar lima tahun. Tinggi badannya cuma 50 cm. Coba bandingkan dengan manusia masa kini. Pada usia lima tahun, tinggi anak Indonesia sudah mencapai lebih dari satu meter.
Secara umum, kesembilan fosil yang berusia antara 12.000 dan 95.000 tahun silam itu memiliki tangan yang menjuntai ke bawah dan nyaris menyentuh lutut. Tangan ini jarang digunakan memanjat pohon. Gigi depannya berukuran kecil, serupa dengan gigi manusia modern.
Sementara itu, lubang matanya tampak besar dan bulat. Tulang pinggulnya mirip primata atau kera. Bentuk tulang tengkorak depannya melekuk tajam.
Ditemukan Peralatan Batu
Selain fosil manusia kerdil purba, pakar tersebut juga menemukan peralatan batu di Gua Liang Bua. Piranti itu meliputi pisau batu, ujung tombak, dan alat pemotong lainnya yang terbuat dari batu. Ada juga batu-batu yang tadinya dipakai sebagai tempat pembakaran.
Tak jauh dari penemuan peralatan batu, peneliti juga menemukan tulang-tulang dari berbagai jenis binatang seperti gajah kecil (stegodon), hewan-hewan pengerat, kura-kura raksasa, dan komodo. Berdasarkan berbagai temuan itu, manusia kerdil itu berburu binatang tersebut untuk selanjutnya disantap bersama.
Logika ini masuk akal. Sejarah mencatat, gua merupakan tempat favorit bagi manusia purba, mulai dari untuk bertahan dari serangan binatang buas dan musuh sesama manusia, berkumpul dengan komunitasnya, hingga meneruskan keturunannya.
Temuan itu sekaligus juga memberi makna bahwa manusia kerdil ini tergolong mahluk cerdas. Meski otaknya mini, mereka mampu membuat peralatan batu dan berburu binatang dengan tombak. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh jenis mahluk hidup lainnya.
Menurut Adam Brumm, Kepala Peneliti dari Australia National University di Canberra, Australia, peralatan batu merupakan salah satu bukti kebudayaan yang sejauh ini hanya dikembangkan manusia. “Simpanse atau kera besar lainnya tidak mampu melakukan hal itu,” ujarnya. Kemampuan membuat peralatan batu semacam itu, lanjut Brumm, didapat dari nenek moyang mereka yang diperkirakan hidup di pulau tersebut sekitar 800.000 sampai 850.000 tahun silam.
Selain itu, ditemukan juga kerangka manusia yang dikubur bersama-sama dengan benda lainnya. Ritual penguburan seperti ini baru terdapat dalam kebudayaan Homo sapiens modern yang berlangsung dalam masa 10.000 ribu tahun silam. ”Tulang belulang si mayat dikumpulkan dan dibaringkan bersama-sama, diolesi dengan okra, dihiasi ornamen (seperti kalung dari kerang laut), lalu diletakkan dalam gua,” tulis Morwood.
Harus Berpikir Ulang
Kecerdikan manusia kerdil berotak mini inilah yang membuat para ilmuwan di seluruh dunia harus berpikir ulang mengenai teorinya selama ini. Mereka menganggap, ukuran otak berkorelasi positif dengan tingkat kecerdasan seseorang.
Artinya, mahluk hidup yang ukuran otaknya kecil memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Begitu pula sebaliknya, semakin besar volume otaknya, tingkat kecerdasannya kian encer alias jenius.
Lalu, bagaimana mungkin Homo floresiensis yang memiliki volume otak lebih kecil dibandingkan dengan simpanse justru memiliki kecerdasan jauh lebih tinggi? Penemuan manusia kerdil asal Flores ini jelas mengubah teori yang ada selama ini.
Brumm yakin, penemuan itu akan mengubah pandangan sains tentang korelasi antara ukuran otak dan bentuk kebiasaan pada evolusi manusia. Pandangan serupa juga dilontarkan paleontolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Teuku Jacob.
Menurutnya, fosil tersebut dapat digolongkan ke dalam jenis manusia modern. Ia beranggapan, bentuk tubuhnya yang kerdil itu bisa terjadi lantaran mereka menderita sebuah penyakit yang disebut microcephaly atau pengecilan kepala. Akibatnya, pertumbuhan otak dan tubuh makhluk itu menjadi kerdil.
Teori lain menyebutkan, pengerdilan itu sebagai akibat dari dwarfisme pulau (island dwarfism). Maklum, sejak dulu secara geografis, letak Pulau Flores amat terpencil dan terpisah dari daratan lain. Konon, untuk menjangkau pulau itu harus menyeberangi laut sejauh 24 km.
Keterisolasian ini membuat mahluk hidup mengalami pengerdilan secara bertahap karena terbatasnya sumber makanan. Teori ini sesuai jika kita berkaca pada beberapa mamalia di pulau-pulau terpencil seperti di Sisilia dan Malta. Di sana ukuran tubuh gajah sangat mini, tingginya hanya sekitar satu meter. Gajah-gajah itu mengalami pengerdilan setelah 5.000 tahun terdampar di pulau tersebut.(Sumber www.koran-jakarta.com)
Misteri Manusia Kerdil dari Flores
Benarkah ada manusia kerdil atau pigmi di Nusatenggara Timur? Mungkin itu pertanyaan yang mengemuka saat tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengumumkan penemuan fosil manusia kerdil di Liang Bua, Ruteng, Flores, NTT, dalam konferensi pers di Sydney, Australia pada Oktober 2004. Fosil yang kemudian bernama homo floresiensis itu pun sontak menjadi buah bibir dunia.
Fosil tengkorak berkode LB-I itu kian tenar menyusul penemuan tengkorak lain di lubang galian XI Liang Bua. Tim menemukan rahang atau mandibula pada kedalaman 5,1 meter. "Ini dari individu homo floresiensis yang berbeda," ujar Kepala Puslit Arkenas Tony Jubiantono kepada tim Potret SCTV, belum lama ini.
Hebatnya, menurut Tony, homo floresiensis dengan memiliki volume otak kecil yang kira-kira identik dengan monyet mampu menciptakan alat. Buktinya, tim menemukan berbagai perkakas pada lapisan yang sama. Jika ini benar, homo floresiensis menjadi akhir dari homo erectus dan menjadi awal dari homo sapiens atau manusia modern.
Namun, pendapat berbeda datang dari Antropolog Ragawi Universitas Gadjah Mada Teuku Yacob. Berdasarkan ciri-ciri fisik, Yacob menilai LB-1 adalah manusia modern. "Cuma lebih kecil karena katai atau menderita otak kecil alias microcephalus," jelas Yacob. Kondisi ini bisa diakibatkan faktor keturunan (genetik) atau faktor lingkungan bisa juga kedua-dua unsur tersebut.
Selain itu, Yacob menambahkan, terdapat berbagai kelainan pada fosil LB-1 seperti pada muka dan rahang termasuk tulang badan macam tungkai dan lengan. "Ini banyak mengandung penyakit dan abnormalitas," ujar Yacob. Dengan demikian, individu tersebut tak dapat dijadikan prototipe untuk mendirikan spesies baru.
Polemik soal homo floresiensis terus bergulir. Para peneliti dihadapkan pada kenyataan ada sebuah desa yang terletak tak jauh dari Liang Bua yang mayoritas berpenduduk orang-orang katai atau memiliki tinggi tubuh di bawah 150 sentimeter. Pada penelitian yang berlangsung pada April 2005, lebih dari 80 persen penduduk Dusun Rampasasa, Kelurahan Waemulu, Kecamatan Waerii, Kabupaten Manggarai, NTT adalah pigmi.
Menurut Koeshardjono, peneliti dari UGM, warga Rampasasa umumnya bertubuh pigmi dengan tubuh yang proporsional. Pertumbuhan pun tampak normal. Salah satu ciri fisik yang tampak khusus adalah masyarakat Rampasasa rata-rata tak memiliki dagu. "Mereka sama homosapiens dari ras australomelanesid yang pigmi atau katai," tambah Koeshardjono.
Misteri soal manusia kerdil dari NTT tampaknya akan terus menjadi misteri. Para peneliti dan arkeolog terus berlomba mencari jawaban dari kedalaman Liang Bua yang pertama kali digali oleh Pater Dr Theodore Verhoeven pada 1965. "Misteri ini akan terus kita teliti lebih jauh," tegas Yus Due Awe dari Puslit Arkenas dengan berapi-api (Sumber : Liputan6.com, )
Liang Bua, Gua dengan Fungsi Ganda
Liang Bua adalah sebuah gua di bukit batu kapur di Kabupaten Manggarai, Flores. Masyarakat setempat sudah akrab dengan gua ini karena ukurannya yang besar dan gua ini juga merupakan salah satu objek wisata menarik di Flores.
Gua yang mempunyai panjang 50 meter, lebar 40 meter, dan tinggi 25 meter ini sudah sangat terkenal di seluruh dunia karena banyak ditemukan tengkorak kuno.
Tengkorak yang ditemukan diyakini milik seorang manusia pendek yang disebut Homo Floresiensis. Tengkorak ini ditemukan pada kedalaman 6 meter. Otak pada tengkorak ini setelah diukur hanya 380 cc, jauh dibandingkan dengan minimum 1200 cc untuk otak manusia normal modern.
Menurut Arkeolog tengkorak Homo Floresiensis berasal sekitar 18.000 tahun yang lalu. Selain itu, di kedalaman 10,7 meter, tulang binatang purba juga ditemukan termasuk Stegodon (gajah purba), komodo, kura-kura, dan kadal.
Meskipun temuan arkeologi sangat terkenal, namun tidak ada replika atau informasi tentang semua temuan di Liang Bua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk kebaikan blog ini komentar anda aku tunggu