Senin, 2 November 2009
05 November, 2009
Mangrove Langka Ditemukan di Lembata
Mangrove Langka Ditemukan di Lembata
Senin, 2 November 2009
STUDI base line ekologi yang diprakarsai WWF Lembata menemukan 16 jenis mangrove. Salah satu jenisnya (ceriops decandra) merupakan satu dari 14 jenis mangrove langka di Indonesia. Tumbuhan pantai jenis ini banyak ditemukan di Lembata.
Demikian diungkapkan Site Manajer WWF Solor-Alor-Lembata (Solar), Ayi Hidayat Adisastra, ketika mempresentasikan hasil studi base line ekologi Kabupaten Lembata kepada anggota Bappeda Lembata, DPRD, Dinas Perikanan dan lembaga terkait di Lewoleba, Jumat (30/10/2009) siang.
Penelitian lapangan dilaksanakan bulan Agustus 2009 melibatkan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta, Undana Kupang, tim peneliti WWF Indonesia Solor-Alor Project, Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata dan Polres Lembata.
Ayi menyatakan, penelitian base line mendukung pembentukan kawasan konservasi laut di Lembata. Perairan Lembata umumnya memiliki aneka ragam sumber daya laut dengan ekosistim menarik, seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Potensi ini bila dikelola dengan baik akan mendukung pemanfaatan sumber daya hayati dan terumbu karang berkembang maksimal di wilayah tropis.
Pengamatan ekosistim terumbu karang, ikan dan padang lamun menggunakan kapal konservasi KM Koteklema milik WWF Solor dilakukan pada delapan titik, yakni Desa Babokerong, Pasir Putih, Tanjung Komi, Tanjung Madu, Tanjung Baja, Kecamatan Ile Ape, Tanjung Tuak dan Gunung Batutara.
Profil dasar pantai Kabupaten Lembata, demikian Ayi, terdiri atas rataan terumbu karang (lebar 100-300 meter dari garis pantai dan lereng dengan kemiringan 300-800 meter. Tim peneliti menemukan beberapa koloni karang masih dapat berkembang di sekitar lereng sampai kedalaman 25 meter.
Dari semua lokasi yang diamati itu, bagian pantai rusak akibat bom ikan. Aktivitas ini mengakibatkan menipisnya terumbu karang yang tersisa dan tampak bongkahan karang berupa 'patches' berdiameter 1-2 meter sampai pada kedalaman 10 meter. Faktor fisik juga diduga mengontrol komunitas karang. Letaknya di lautan terbuka Samudera Hindia, aktivitas manusia menggunakan bahan peledak dan bahan kimia beracun menangkap ikan berperan mengontrol komunitas karang batu. Tim peneliti menemukan karang mati akibat pemboman dan sianida.
Persentase tutup karang hidup bervariasi dari ketegori rusak sampai baik. Lembata termasuk ketegori baik (kurang (1-70 persen). Namun di beberapa lokasi ditemukan tak ada bongkahan atau karang mati yang ditumbuhi algae, tetapi hancur berupa patahan karang yang merata di kedalaman 3-15 meter. Kondisi ini mengakibatkan ikan-ikan karang susah mencari tempat tinggal. Spot-spot karang umumnya hanya sampai kedalaman 7-8 meter, setelah itu pasir dan pecahan karang mati.
Tim peneliti berasumsi, jika areal terumbu karang yang ada sekarang di Lembata tidak dikelola dengan baik, beberapa puluh tahun mendatang tidak akan produktif lagi. Komunitas karang hidup menjadi rusak digantikan hamparan pecahan karang (rubble) dan pecahan atau fragmen yang telah mati diselimuti alga.
Sementara penelitian mangrove diadakan di sembilan lokasi, yakni Desa Pasir Putih, Kelurahan Lewoleba Utara, Desa Pada, Lewoleba Timur, Desa Beutaran, Laranwutun, Kolontobo dan Desa Palilon. Hasil sampling mangrove ditemukan 16 jenis mangrove. Dari 16 jenis itu salah satu dari 14 jenis langkah di Indonesia ada di Lembata. Hutan mangrove menempati peranan unik tak dapat digantikan ekosistim lainnya sebagai mata rantai perputaran zat hara yang penting bagi organisme akuatik. (ius)
Pos Kupang, 1 November 2009
Senin, 2 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk kebaikan blog ini komentar anda aku tunggu